Kamis, 15 Oktober 2015

PENGERTIAN FILSAFAT, ILMU PENGETAHUAN SEBAGAI SKETSA UMUM UNTUK MEMAHAMI FILSAFAT, FEMONOLOGI ILMU PENGETAHUAN, DAN FILSAFAT PENGETAHUAN

Menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan. Secara umum Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Filsafat Ilmu
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari suatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Sementara ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Ilmu Pengetahuan sebagai Sketsa Umum Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu.
Semakin banyak manusia tahu, semakin banyak pula pertanyaan yang timbul dalam dirinya. Manusia ingin mengetahui tentang asal dan tujuan hidup, tentang dirinya sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya, dan berbagai hal lainnya. Sikap seperi ini pada dasarnya sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan sistematis dapat dibagi atas banyak jenis ilmu.
Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia dan memecahkan berbagai persoalan hidup. Berbeda dari binatang, manusia tidak dapat membiarkan insting mengatur perilakunya. Untuk mengatasi masalah-masalah, manusia membutuhkan kesadaran dalam memahami lingkungannya. Di sinilah ilmu-ilmu membantu manusia mensistematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencariannya.
Pada abad modern ini, ilmu-ilmu pengetahuan telah merasuki setiap sudut kehidupan manusia. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena ilmu-ilmu pengetahuan banyak membantu manusia mengatasi berbagai masalah kehidupan. Prasetya T. W. dalam artikelnya yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend” mengungkapkan bahwa ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan menjadi begitu unggul. Pertama, karena ilmu pengetahuan mempunyai metode yang benar untuk mencapai hasil-hasilnya. Kedua, karena ada hasil-hasil yang dapat diajukan sebagai bukti keunggulan ilmu pengetahuan. Dua alasan yang diungkapkan Prasetya tersebut, dengan jelas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memainkan peranan yang cukup penting dalam kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, ada pula tokoh yang justru anti terhadap ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh yang cukup terkenal dalam hal ini adalah Paul Karl Feyerabend. Sikap anti ilmu pengetahuannya ini, tidak berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Feyerabend menegaskan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tidak menggunguli bidang-bidang dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Menurutnya, ilmu-ilmu pengetahuan menjadi lebih unggul karena propaganda dari para ilmuan dan adanya tolak ukur institusional yang diberi wewenang untuk memutuskannya.
Sekalipun ada berbagai kontradiksi tentang keunggulan ilmu pengetahuan, tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari peranan ilmu pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah-masalah hidupnya, walaupun kadang-kadang ilmu pengetahuan dapat pula menciptakan masalah-masalah baru.
Meskipun demikian, pada kenyataannya peranan ilmu pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah kehidupannya sesungguhnya terbatas. Keterbatasan itu terletak pada cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Karena pembatasan itu, ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan manusia. Untuk mengatasi masalah ini, ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan filsafat. Sehingga filsafat dianggap menjadi hal yang penting.
Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Secara epistemologi dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subyek dan obyek. Walaupun secara tegas keduanya berbeda, akan tetapi untuk membentuk sebuah pengetahuan keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan keduanya wajib ada karena merupakan suatu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Dalam hal ini pengetahuan dan ilmu pengetahuan, subyek adalah manusia dengan akal budinya, sedangkan obyek adalah kenyataan yang diamati dan dialami di alam semesta ini. Suatu kenyataan bahwa supaya ada pengetahuan, subyek harus terarah kepada obyek, dan sebaliknya obyek harus terbuka dan terarah kepada subyek.
Pengetahuan adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Maka tanpa ingin meremehkan peran penting dari obyek pengetahuan, manusia sebagai subyek pengetahuan memegang peranan penting. Keterarahan manusia terhadap obyek jadinya merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia.
Pengetahuan terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari obyek. Dari realitas alam semesta ini, berkat unsure jasmaniyah, manusia mampu menangkap obyek yang ada di sekitarnya karena tubuh jasmani manusia adalah bagian dari realitas alam semesta ini, serta dengan bantuan jiwa dan akal budinya, manusia mampu mengangkat pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain serta bersifat temporal, konkrit, jasmani-inderawi tadi ke tingka abstrak dan karena itu universal.
Pengetahuan manusia tidak hanya berkaitan dengan obyek konkrit, khusus yang dikenalnya melalui pengamatan inderawinya, melainkan juga melalui itu dimungkinkan untuk sampai pada pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain secara teoritis dapat dijangkau oleh akal budi manusia.
Pengetahuan manusia yang bersifat umum dan universal itulah memungkinkan untuk dirumuskan dan dikomunikasikan dalam bahasa yang bersifat umum dan universal untuk bias dipahami oleh siapa saja dari waktu dan tempat mana saja. Berkat refleksi ini pula pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan dilakukan secara sistematis sedemikian rupa, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela, maka lahirlah apa yang kita kenal sebagai Ilmu Pengetahuan.
Jadi Ilmu Pengetahuan muncul karena apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung tadi, disusun dan diatur secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku.
Filsafat Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Franz Magnis Suseno mengungkapkan dua arah filsafat dalam usaha mencari jawaban dari berbagai pertanyaan sebagai berikut: pertama, filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Kedua, filsafat harus ikut mencari jawaban yang benar. Kritikan dan jawaban yang diberikan filsafat sesungguhnya berbeda dari jawaban-jawaban lain pada umumnya. Kritikan dan jawaban itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
               Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan, serta harus dipertahankan secara argumentatif dengan argumen-argumen yang objektif. Hal ini berarti bahwa kalau ada yang mempertanyakan atau menyangkal klaim kebenaran suatu pemikiran, pertanyaan dan sangkalan itu dapat dijawab dengan argumentasi atau alasan-alasan yang masuk akal dan dapat dimengerti.
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak jelas bahwa filsafat selalu mengarah pada pencarian akan kebenaran. Pencarian itu dapat dilakukan dengan menilai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada secara kritis sambil berusaha menemukan jawaban yang benar. Tentu saja penilaian itu harus dilakukan dengan langkah-langkah yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Penilaian dan jawaban yang diberikan filsafat sendiri, senantiasa harus terbuka terhadap berbagai kritikan dan masukan sebagai bahan evaluasi demi mencapai kebenaran yang dicari.
Inilah yang menunjukkan kekhasan filsafat di hadapan berbagai ilmu pengetahuan yang ada. Filsafat selalu terbuka untuk berdialog dan bekerjasama dengan berbagai ilmu pengetahuan dalam rangka pencarian akan kebenaran. Baik ilmu pengetahuan maupun filsafat, bila diarahkan secara tepat dapat sangat membantu kehidupan manusia.

Membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia.

Sumber: 

Andri wiranata . (2013). Makalah filsafat ilmu tentang peranan filsafat dalam ilmu pengetahuan. Diakses 08 September 2015, dari
 Ageng Suko Dermawan. (2011). Fenomenologi. Diakses 08 September 2015, dari
Khalid Amr. (2015). Pengertian filsafat menurut para tokoh. Diakses 08 September 2015, dari

Kamis, 08 Oktober 2015

Kosep Dasar Etika Umum

L) Hak dan Kewajiban
• Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Contoh : hak mendapatkan pengajaran, hak mengeluarkan pendapat. 
• Kewajiban adalah: Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggungjawab. Contohnya: melaksanakan tata tertib di sekolah, membayar SPP

M) Menjadi Manusia yang Baik
• Tulus
• Berbicaralah dengan ramah tamah dan sopan.
• Hargailah orang lain
•  Sering-seringlah membantu orang lain
• Bersyukur
• Bertemanlah dengan siapapun
• Janganlah memilih-milih teman, karena semua manusia di mata Allah SWT adalah sama
• Receive less, Give More
• Dalam hidup,harus lebih sering memberi daripada menerima. 

Kamis, 01 Oktober 2015

Konsep Dasar Etika Umum

I) Shame culture dan guilt culture
Pada  tahun 1948 Ruth Benedict seorang antroplog  dalam bukunya yang berjudul  The Chrysanthemum and the Sword, memperkenalkan istilah Shame Culture (Budaya Malu) dan Guilt Culture (Budaya Bersalah) yang digunakan sebagai dikotomi pembagian  bagaimana pola pikir Barat  dan Timur.  Barat  di kategorikan sebagai guilt culture dimana  orang merasa  bersalah kalau melakukan sesuatu perbuatan yang salah sekalipun tidak ada yang melihat. Contohnya di Jerman dan negara negara Eropa Barat (kecuali Inggris), kalau anda naik kereta api dan bis dalam kota  tidak ada yang memeriksa apakah anda punya tiket atau tidak, tapi orang orang yang menggunakan moda transport tersebut tetap membeli tiket sesuai dengan tujuannya masing masing karena mereka merasa bersalah (guilt) kalau naik transportasi umum tidak membayar. Sebaliknya suatu bangsa  yang  menganut  shame culture, orang akan terus melakukan sesuatu  perbuatan  yang salah  dan merasa nyaman saja  dan akan merasa malu (shame) kalau ketahuan.

J) Kebebasan dan Tanggung Jawab
• Kebebasan
Dalam KBBI bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu) Dalam filsafat pengertian kebebasan adalah Kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi mahluk yang memiliki kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehandak, dan berbuat.
Lebih jauh, Kamus John Kersey mengartikan bahwa ‘kebebasan’ adalah sebagai ‘kemerdekaan, meninggalkan atau bebas meninggalkan.’ Artinya, semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan suatu hal. Menurut Black, ‘kebebasan’ diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur didalam undang-undang.
• Tanggung Jawab
Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang tingkah laku atau perbuatannya. Dalam tanggung jawab terkandung pengertian penyebab. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab suatu akibat maka dia tidak harus bertanggung jawab juga. Tanggung jawab bisa berarti langsung atau tidak langsung.

K) Nilai dan Norma
• Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkret. Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat batiniah. Menilai berati menimbang, yaitu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan.
• Norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya. 

Kamis, 17 September 2015

Konsep Dasar Etika Umum

e) Peranan Etika Dalam Dunia Modern
Peranan Etika dalam Dunia Modern
1) Adanya pluralisme moral Adalah suatu kenyataan sekarang ini bahwa kita hidup dalam zaman yang semakin pluralistik, tidak terkecuali dalam hal moralitas.
2) Timbulnya masalah-masalah etis baru. Ciri lain yang menandai zaman kita adalah timbul masalah-masalh etis baru, terutama yang disebabkan perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi khusunya ilmu-ilmu biomedis;
3) Munculnya kepedulian etis yang semakin universal. Ciri nya adalah adanya suatu kepedulian etis yang semakin universal;
4) Hantaman gelombang modernisasi Kita sekarang ini hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding.
5) Tawaran berbagai ideologi Proses perubahan social budaya dan moral yang terus terjadi, tidak jarang telah nmembawa kebingungan bagi banyak orang atau kelompok orang;
6) Tawaran bagi agamawan Etika juga diperlukan oleh para agamawan untuk tidak menutup diri terhadap persoalan praktis kehidupan umat manusia.

f) Moral dan Agama
          Hubungan Agama Dan Moral Berbicara tentang moral asosiasinya akan tertuju pada penentuan baik dan buruk sesuatu. Dengan rasio atau tradisi dapat juga dengan lainnya seseorang dapat menentukan baik atau buruk. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral bukanlah yang lain. Yang menentukan baik dan buruknya sesuatu adalah akal dan pikiran manusia semata. Aliran hedonisme berpendapat bahwa sumber kebaikan dan keburukan adalah kebahagiaan.

g) Moral dan Hukum
              Moral berhubungan dengan manusia sebagai individu sedangkan hukum(kebiasaan, sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial. Antara hukum dan moral terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya kerjanya.
1) Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
a. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
b. Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat
2) Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
a. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi
b. Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.


h) Hati Nurani
Hati nurani adalah kemampuan manusia untuk melihat ke dalam dirinya, dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Lepas dari segala kekurangan dan cacatnya, manusia adalah mahluk yang mampu menentukan apa yang harus, yang baik, dilakukan, dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangannya tersebut.
• Arti luas
   Hati nurani berarti kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia
• Arti sempit
   Hati nurani berarti penerapan kesadaran moral di atas dalam situasi konkret

Kamis, 10 September 2015

Konsep Dasar Etika Umum

Konsep Dasar Etika Umum

a) Etika dan Moral
           Etika dan moral adalah hal yang sering dikait-kaitkan oleh masyarakat. Seringkali masyarakat salah mengartikannya dan menganggapnya sama. Akan tetapi, sesungguhnya mereka berbeda. Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno. Dalam bentuk jamak, “ta etha” yang artinya adat kebiasaan
Istilah “moral” berasal dari bahasa Latin “mos” yang bentuk jamaknya “mores” yang berarti kebiasaan, adat.
           Sedangkan arti “moral” terbatas hanya pada arti pertama “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

b) Amoral dan Imoral
           Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, non-moral. Immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.

c) Etika dan Etiket
           Etika dan etiket memiliki arti yang berbeda. Etika adalah moral dan etiket berarti sopan santun.
Akan tetapi etika dan etiket memiliki persamaan.
1) Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia;
2) Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif.

Sedangkan perbedaan antara etika dan etiket tergambar dalam tabel berikut.
Etika
1) Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan.
    Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri; Contoh jangan mencuri!
2) Etika selalu berlaku walaupun tidak ada saksi mata;
3) Etika jauh lebih absolute;
4) Etika menyangkut manusia dari segi dalam.

Etiket
1) Menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain, etiket tidak berlaku;
3) Etiket bersifat relatif. Berbeda tempat dan budaya, bisa berbeda pula etiketnya;
4) Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah.

d) Etika Sebagai Cabang Filsafat
             Etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau -menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
             Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua manusia.

Minggu, 06 September 2015

HUMANIORA SEBAGAI ILMU, TEKNOLOGI, DAN NILAI

Ilmu Humaniora merupakan ilmu yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif.
HUMANIORA SEBAGAI PENGEMBANGAN ILMU DAN TEKNOLOGI
Humaniora sebagai Pengembangan ilmu dan teknologi  adalah amanat kemanusiaan, untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu perlu dipandu oleh nilai-nilai humaniora, agar terjamin kemanfaatannya untuk manusia. Humaniora yang membawa nilai-niali budaya manusia yaitu nilai universal. Dalam pengembangannya, humaniora juga terdapat  nilai bisnis yaitu nilai yang dapat menimbulkan hedonisme yang bermula di masyarakat bisnis.
Ilmu humaniora juga terdapat dalam bidang ilmu kedokteran yaitu menurut Clauser (1990) dalam ilmu kedokteran, mempelajari  humaniora sangat berpengaruh untuk meningkatkan kualitas pola pikir seseorang. Pola pikir yang dimasud yaitu Kualitas pikir tidak lagi terfokus pada hal-hal hafalan, materi baku, konsep mati, tetapi ditingkatkan dalam hal kemampuan kritik, perspektif  yang lentur, tidak terpaku pada dogma, dan penggalian nilai-nilai yang berlaku didalam ilmu kedokteran.
Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukannya helikopter.
KARAKTERISTIK ILMU HUMANIORA
Humaniora sebagai kelompok ilmu pengetahuan mencakup bahasa baik bahasa modern maupun klasik, linguistik, kesusastraan, sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humaniora dan menggunakan metode humanitis. J. Drost (2002: 2), mengatakan bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium berkembang ke quadvirium yaitu geometri, aritmatika, musik (teori akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa seorang mahasiswa harus memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang antara lain mampu membedakan macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan.
Ignas Kleden (1987: 72) menyitir pendapat J. Habermas menunjukkan lima ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai berikut.
  1. Jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti.
  2. Ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh cinta).
  3. Pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan prapengertian. Pemahaman situasi orang (Rizal Mustansyir, Refleksi Filosofis atas Ilmu Ilmu Humaniora 213) lain halnya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua situasi tersebut.
  4. Komunikasi tersebut akan menjadi intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri.
  5. Kepentingan yang ada disini adalah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniora akan menghasilkan  interpretasi-interpretasi yang menungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama.
Beberapa aspek  perkembangan ilmu-ilmu humaniora yang belum optimal.
1.      Masih kuatnya pengaruh positivistik dalam dunia akademis, sehingga ukuran ilmiah selalu diperlakukan seragam (uniformitas), yakni eksak, terukur, dan bermanfaat. Aktivitas jiwa seperti: emosi, perasaan, pikiran, kesadaran harus dapat diukur (kuantitatif) agar memenuhi persyaratan ilmiah sebagaimana yang dicanangkan kaum positivist. Metodologis. A.J. Ayer (1952: 4) dalam karyanya Laguage, Truth, and Logicmenegaskan bahwa pernyataan filosofis baru dapat dikatakan ilmiah manakala memenuhi kriteria proposisi empirik dan proposisi analitik. Prinsip verifikasi merupakan ukuran yang dapat membuktikan apakah sebuah pertanyaan itu bermakna (meaningfull) ataukah nir-makna (meaningless);
  1. Penomor duaan terhadap ilmu-ilmu humaniora dalam berbagai aktivitas ilmiah bahkan dalam bentuk pengakuan ataupun opini masyarakat. Orang tua lebih bangga anaknya kuliah di fakultas-fakultas eksak daripada fakultas-fakultas humaniora. Dalam kenyataannya lulusan fakultas-fakultas eksak lebih mudah mencari pekerjaan karena kualifikasi yang diinginkan oleh pasar mengarah pada kriterian seperti itu;
  2. Gagap teknologi (gaptek) dipandang lebih memalukan dari pada gagap budaya (gaya) dan gagap kemanusiaan (gamas). Individu yang tidak mengikuti perkembang teknologi mutakhir  dipandang ketinggalan zaman. Gagap budaya (gaya) terlihat dalam kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan alam pemikiran atau gagasan yang berkembang dalam kehidupan modern. Gagap kemanusiaan (gamas) terlihat pada sikap meremehkan dan tidak peduli dengan nasib manusia lainnya;
  3. Adanya rasa rendah diri yang menghinggapi kalangan ilmuan di bidang humaniora itu sendiri, sehingga lemahnya semangat kompetitif dalam pengembangan ilmu. Kemanjuan pesat di bidang teknologi direaksi lamban oleh ilmu-ilmu humaniora, sehingga dampak negatif teknologi sudah merambah kemana-mana tanpa dapat dicegah, sehingga pada akhirnya merugikan umat manusia. Sikap kritis ilmu humaniora belum mampu memprediksi secara lebih dini kemungkinan yang akan terjadi akibat kemajuan iptek.

NILAI-NILAI YANG TERDAPAT DALAM HUMANIORA
Humaniora terdiri atas unsur-unsur seni, etika, kearifan, nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kelembutan, memanusiakan manusia, menyingkirkan beban dan berbuat baik bagi manusia. Tanpa nilai-nilai tersebut, manusia atau perilakunya dapat dikategorikan tidak human, tidak manusiawi, tidak berbudaya atau barbar.
Humaniora dalam  Agama seharusnya merupakan nilai yang paling azasi dari seluruh nilai-nilai humaniora. Nilai-nilai agama diharapkan dapat dikembangkan oleh agamawan/ruhaniawan untuk memandu pengembangan ilmu/teknologi dan penerapannya.   

Sabtu, 05 September 2015

Pengertian Humaniora

Pengertian Humaniora

Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka1988), adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya.


Ilmu Humaniora

SEJARAH SINGKAT HUMANIORA
Penelusuran atas pengertian humaniora dalam sejarah peradaban umat manusia menjadi salah satu titik tolak yang sangat penting. Woodhouse (2002:1) dalam artikelnya yang berjudul The Nature of Humanities: Historical Perspektive menegaskan bahwa istilah humaniora yang berasal dari program pendidikan yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas sebagai faktor penting pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan istilah humanitas oleh Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam cara lain bahwasanya pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan, dan peningkatan martabat kemanusiaan dan lebih berfungsi normatif daripada deskriptif (Sastrapratedja, 1998:1).
Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan (humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan warga Negara yang bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjadi program pendidikan dasariah. Beralih pada zaman Pertengahan pendidikan humaniora berusaha menyatukan konsep paideia dengan kekristenan. Ketika memasuki zaman Renaissance, para humanis Italia menghidupkan kembali istilah humanitas, sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan menjadi studi humanitas, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filasfat. Ketika itu dibedakan antara apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang dianggap secara otentik merupakan esensi kemanusiaan. Oleh karena itu kemudian berkembang perbedaan antara studi divinitas dan studihumanitatis (Sastrapratedja, 1988:2)
Pada zaman modern, pengertian humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus, yaitu:
  1. Mengacu pada perasaan kemanusiaan dan tingkah lakuyang mengarah pada hal-hal seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan.
  2. Tujuan pendidikan liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman dalam gagasan tentang sebuah universitas.
Humanitas juga mengacu pada perkembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan utama pendidikan liberal. Selanjutnya da;am sistem pendidikan di Barat dikenal istilahartes liberales (liberal arts) dan di lingkungan Anglo-Saxon disebut “humanities”. Pendidikan humaniora dianggapmempunyai fungsi pengembangan “humanitas” dalam diri manusia (Woodhouse, 2002:2). Meskipun pada zaman Aufklarung humaniora banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi dasar pendidikan pada abad ke-18 dan 19. Pada awal abad ke-19, ditekankan perbedaan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu menjadi dua kelompok yakni Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft (Rizal Mustansyir, 2003: 124). Setelah itu humaniora tidak lagi dipandang sebagai dasar dari program pendidikan, tetapi lebih dilihat sebagai dimensi fundamental dari dunia pengetahuan manusia.
Dewasa ini pengertian humanities menurut Woodhouse (2002: 4) merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities meliputi bahasa, sastra, seni, filasfat, dan sejarah. Disini inti humanitas kadangkala ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas modern. Keadaan yang mirip berlaku pula di Indonesia. Dalam sebuah artikel Indonesia’s International Conference on Cultural Studies (2002:1) dikemukakan bahwa bidang humaniora sebagaimana halnya ilmu sosial telah berperan dan menjadi saksi nyata perkembangan fenomenal dari suatu paradigma baru dari ilmu-ilmu budaya. Paradigma baru ini mencoba memahami secara kritis bagaimana gerak budaya, dan dasar kekuatannya terletak pada karya di balik praktek-praktek budaya. Di Indonesia meskipun unsur-unsur studi budaya telah membuka atau meratakan jalan masuk ke dalam kurikulum beberapa program studi di bidang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, juga aktivitas berbagai kelompok peneliti independen, namun sebagian besar masih dipahami sebagai sisi luar dari body of knowledge. Kendatipun demikian dengan kehadiran globalisasi yang disertai dampak-dampak yang ditimbulkannya atas dunia, ada tuntutan kuat agar ilmu-ilmu budaya di Indonesia dikembangkan lebih serius. Dengan demikian ilmu budaya dapat memperdayakan ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial dalam lingkup yang lebih luas. Sastrapratedja (1998: 2-3) menegaskan bahwa humaniora pada abad XX mengalami perubahan yang mendalam dalam sistem pendidikan di Barat dikarenakan beberapa faktor seperti: proliferasi ilmu-ilmu pengetahuan alam pada abad XX; perkembangan ilmu pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) dan ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan; universitas semakin menjadi institusi yang berorientasi profesionalitas. Mahasiswa belajar di Universitas untuk menjadi seorang profesional yang akan memperoleh pekerjaan. Universitas cenderung menjadi pragmatis dan lebih cenderung memenuhi kebutuhan pasar.
Hal yang sama dapat pula dirasakan kecenderungannya di Indonesia, terlebih lagi dengan dicanangkannya otonomisasi kampus terasa kuatnya orientasi pasar, sehingga sebuah fakultas akan dihargai kualitas akademiknya manakala alumninya berhasil memasuki dunia kerja dengan masa tunggu yang relatif singkat. Disini sudah tidak dipersoalkan lagi seberapa besar peran bidang humaniora di dalam membentuk kualitas akademik seorang lulusan, yang ditonjolkan justru ia lulusan dari fakultas x dan memiliki keahlian dalam bidang x.

Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Humaniora
https://olimpiadehumaniora3.wordpress.com/about/